“Belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah
orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang
paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta
paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang
telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah
akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya
mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish
shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam
keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al
Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam
pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan
bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam
pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut)
pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta
matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198,
An Nukat, hal. 149-151)
Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri
hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa
mencintai mereka (para sahabat) dan sering menyebutkan berbagai
kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para sahabat,
memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ;
Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa
dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya
Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan
termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun
adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka
serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi
perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah
pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta
pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah
perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila
benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala.
“Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang
telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian
tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al
Baqarah : 141). Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat maka
sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan
akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat
- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)
- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr : 8-9)
- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)
- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100)
- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)
Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)
- Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
- Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat
- Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
- Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang layak untuk diperhitungkan pendapatnya.”
- Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
- Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Urutan keutamaan para Sahabat
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah
berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.
[1] Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang
empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu’anhum al jamii’.
Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa
salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa
rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian.” [2] Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang
diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu : Abu
‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid,
Zubeir bin Al Awwaam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf
radhiyallahu’anhum. [3] Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu [4] Ahlu
Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah
telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah
mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan
ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang
dekat.” (QS. Al Fath : 18). [5] Kemudian para sahabat yang beriman dan
turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama
daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al
Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang
yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang.
Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang
berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah
janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid : 10). Sedangkan
yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah. [6]
Kemudian kaum Muhajirin secara umum, [7] kemudian kaum Anshar. Sebab
Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam Al
Qur’an, Allah subhanahu berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang
fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan
meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah
dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr : 8). Mereka itulah kaum
Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tentang kaum Anshar, Sedangkan
orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum
mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa
yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada
diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.
Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr : 9). Allah
mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal
mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena
mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan
harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan
ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama
Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah
karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan
dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin
paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin
dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah : 117). Hal itu disebabkan mereka
(Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda
mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, pent).
Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar,
kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian
‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan
mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal
pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih
mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih
mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang
tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang
berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap
sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat
demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)
Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi
hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka
merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah
pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber
dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar
maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia
tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala. Dan polemik yang
mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih
posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi;
karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk
itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat
keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat
manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan
tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka
dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang
lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian
kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah
Wasithiyah, hal. 82)
Keterjagaan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang
ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh
dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain
mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk
meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut :
- Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
- Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
- Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
- Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
- Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
- Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.
- Kaum mukminin senantiasa mendo’akan mereka
- Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena salah)
adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Hal
itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan
juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling
baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa
dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)
Cintailah mereka!
Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah
mengatakan, “Kami -Ahlus Sunnah- mencintai para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam
mencintai salah seorang di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas
diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci
mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan
cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan
kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan.
Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran
batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
sumber Artikel www.muslim.or.id